Hubungan Jepang dan Korea Selatan
Hubungan Jepang dan Korea Selatan merupakan salah satu hubungan bilateral yang kompleks dan penuh dinamika di Asia Timur. Meski kedua negara berbagi nilai-nilai demokrasi, ekonomi pasar bebas, serta kepentingan keamanan yang serupa—terutama dalam menghadapi ancaman dari Korea Utara—hubungan mereka sering kali diwarnai ketegangan historis, sengketa teritorial, dan perbedaan persepsi nasionalisme.
Aspek Sejarah
Sejarah menjadi salah satu elemen yang paling sensitif dalam hubungan Jepang dan Korea Selatan. Pada tahun 1910 hingga 1945, Jepang menjajah Semenanjung Korea, periode yang meninggalkan luka mendalam bagi rakyat Korea. Di bawah penjajahan Jepang, masyarakat Korea mengalami eksploitasi ekonomi, penghapusan budaya, dan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk sistem “perempuan penghibur” (comfort women), di mana ribuan perempuan Korea dipaksa menjadi pekerja seks bagi tentara Jepang selama Perang Dunia II.
Meskipun Jepang dan Korea Selatan menandatangani Perjanjian Normalisasi Hubungan pada tahun 1965, yang mencakup kompensasi ekonomi dari Jepang, isu-isu terkait warisan kolonialisme tetap mempengaruhi hubungan kedua negara hingga saat ini. Tuntutan kompensasi tambahan dan permintaan maaf dari Jepang atas pelanggaran masa lalu sering kali menjadi topik perdebatan yang memanas.
Sengketa Teritorial
Kedua negara juga memiliki sengketa teritorial yang berlangsung lama terkait Kepulauan Dokdo (disebut Takeshima oleh Jepang). Kepulauan ini terletak di Laut Jepang (disebut Laut Timur oleh Korea Selatan) dan menjadi simbol penting bagi nasionalisme di kedua negara. Korea Selatan saat ini mengontrol kepulauan tersebut, tetapi Jepang terus mengklaim kedaulatannya. Sengketa ini sering kali memicu ketegangan diplomatik, termasuk aksi unjuk rasa dan kebijakan nasionalisme.
Kerja Sama Ekonomi
Kedua negara berbagi peran penting dalam rantai pasok global, terutama dalam industri teknologi tinggi seperti semikonduktor, elektronik, dan otomotif. Namun, hubungan ekonomi ini tidak selalu mulus.
Isu Keamanan dan Aliansi Regional
Terutama karena ancaman Korea Utara yang memiliki program nuklir dan rudal balistik. Kedua negara sering berkoordinasi dengan Amerika Serikat dalam kerangka aliansi trilateral untuk menjaga stabilitas di kawasan Asia Timur. Latihan militer bersama, berbagi intelijen, dan diskusi diplomatik menjadi elemen penting dalam kerja sama keamanan ini.
Namun, meskipun ada kepentingan bersama, hubungan militer kedua negara juga kerap dipengaruhi oleh ketegangan sejarah. Salah satu contoh adalah ketika Korea Selatan membatalkan perjanjian berbagi intelijen (GSOMIA) dengan Jepang pada 2019 sebelum akhirnya memperpanjangnya di bawah tekanan internasional.
Dimensi Budaya
Menjadi salah satu aspek yang relatif positif dalam hubungan kedua negara. Gelombang Hallyu (Korean Wave), termasuk musik K-pop, drama, dan film Korea, mendapatkan popularitas besar di Jepang. Pertukaran budaya ini sering kali menjadi jembatan untuk mendekatkan masyarakat kedua negara, meskipun sentimen negatif akibat sejarah tetap ada.
Perkembangan Kontemporer
Dalam beberapa tahun terakhir, upaya rekonsiliasi terus dilakukan, meskipun hasilnya beragam. Pada tahun 2023, Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol bertemu Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida untuk memperbaiki hubungan. Pertemuan ini menghasilkan sejumlah kesepakatan, termasuk memperkuat kerja sama di bidang ekonomi dan keamanan. Namun, upaya ini tetap menghadapi tantangan dari opini publik di kedua negara, yang masih skeptis terhadap hubungan lebih erat.